Minggu, 21 Agustus 2016

Cerpen: Aku dan Gadis Pantai


Aku dan Gadis Pantai

Yundra Karina

Aku melangkah menuju kursi di pojok ruangan. Aku tak mungkin menghabiskan waktu untuk mengamati dan menguping pembicaraan mereka secara diam-diam. Lagipula ada kewajiban yang harus kurampungkan. Minggu ini jatahku melahap salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer.
Kukeluarkan novel itu. Buku bersampul hijau bergambar seorang gadis desa memakai kebaya dan jarit yang diikat dengan udhet, dengan latar belakang pantai beserta ombak kecil yang bergulung, dan dua orang lelaki yang berbeda dari segala sisi.
Ah! Terlalu lama kuamati sampul hijau itu. Setelah kubaca blurb di sampul bagian belakang, kulirik jam tanganku untuk memastikan pukul berapa aku mulai membaca novel Gadis Pantai. Kebiasaan aneh memang.
Kubuka lembar pertama, kutulis di bagian pojok kanan atas: mulai baca pukul 00.00 tanggal 15 Maret 2015. Sore tadi, aku bersama temanku, Akhil, berburu buku di Stadion Diponegoro Semarang. Seperti biasa, aku mencari beberapa novel karya Dewi Lestari, Andrea Hirata, dan Tere Liye. Sudah empat tahun terakhir aku gandrung pada karya-karya mereka.
"Mbak Yundra sudah pernah baca buku karya Pramoedya Ananta Toer?"
"Eh, belum pernah, Dik. Belum tahu juga penulis itu."
"Ah, masa Mbak Yundra enggak tahu Pramoedya sih? Dia kan penulis terkenal."
"Beneran, Dik. Bagus pa? Soale belum pernah dengar dan belum tahu siapa Pramoedya."
"Bagus banget, Mbak. Kemarin aku diberi Kak Sa’id, judulnya Bumi Manusia. Mbak Yundra harus baca novel itu. Pokoknya bagus. He-he."
"Kak Sa’id siapa?"
"Yang ngajar di fakultas hukum itu lo, Mbak. Yang pernah aku ceritain."
"Oh, hmmm, ya sudah. Tambah satu novel lagi yang harus kubeli kalau begitu."
Aku bertanya pada abang penjual dan ternyata stok Bumi Manusia kosong. Yang ada Gadis Pantai dan Bukan Pasar Malam. Awalnya berencana menambah satu novel, akhirnya malah nambah dua.
"Saya ambil dua-duanya, Bang," ujarku setelah melihat sampul dan blurb dua novel itu.
"Dua minggu lagi kemungkinan tetralogi Bumi Manusia sudah ada, Mbak. Mbak bisa meninggalkan nomor HP, kalau bukunya sudah datang, nanti saya kabari."
"Baik, Bang. Terima kasih ya."
Ya. Akhirnya sore tadi aku memborong enam novel. Dua karya Dewi Lestari, satu karya Andrea Hirata, satu karya Tere Liye, dan dua karya Pramoedya Ananta Toer.
Aku benar-benar tidak tahu siapa Pramoedya Ananta Toer. Jadi, inilah pengalaman pertamaku bersinggungan dengan karyanya.
Kuseruput es cokelatku. Di sela-sela mengerjakan proposal skripsi memang butuh bacaan ringan untuk sekadar menghilangkan penat dan rasa suntuk. Bacaan ringan? Iya. Aku suka membaca karya mereka karena menurutku karya mereka cukup ringan untuk disantap sembari cekikikan atau menangis sendirian.
"Apakah karya Pramoedya Ananta Toer juga termasuk bacaan ringan? Ah, aku enggak tahu dan enggak bakal tahu sebelum aku membaca dan menyelami." Aku berbicara sendiri di dalam hati.
Kubuka halaman pertama. Belum! Belum sampai bagian pertama, masih pada halaman-halaman awal, dan aku merasa waktu berjalan sangat lambat.
"Seorang maestro sastra, tapi aku tak mengenalnya sama sekali. Jadi selama ini aku ke mana saja? Aku ngapain saja?" aku bergumam lirih.
"Aku pergi ke Jakarta. Dia pun pergi, hanya untuk selama-lamanya. Dia, nenek darahku sendiri, pribadi yang kucintai, kukagumi, kubanggakan. Inilah tebusan janjiku. Pada dia yang tak pernah ceritakan sejarah diri. Dia yang tak pernah kuketahui namanya. Maka cerita ini kubangun dari berita orang lain, dari yang dapat kusaksikan, kukhayalkan, kutuangkan."
Deg! Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Padahal baru membaca pengantar dan tetek-bengek pada awalan sebelum bagian pertama, aku seperti merasakan sesuatu yang nyata. Bukan hanya khayalan atau fiktif belaka. Kututup novel itu.
Kunyalakan handphone-ku, kubuka Google, kuketik di pencarian: biografi Pramoedya Ananta Toer. Malam makin merangkak menuju pagi. Pukul satu dini hari, rupanya. Kubuka novel Gadis Pantai lagi, "Bagian Pertama". Gumamku pelan, dan aku mulai menyelam, menyelam, dan menyelam.
Baru sepuluh lembar dan aku mulai gelagapan. Ah, mungkin karena masih awal persinggunganku dengan karya Pram. Namun membaca kisah ini, seakan aku déjà vu entah pada apa atau pada siapa. "Berat, terlalu berat untukku. Ini bukan bacaan ringan." Lagi-lagi, aku bercakap dengan diri sendiri. Di dalam hati. Namun tak bisa kumungkiri, aku penasaran dengan lanjutannya.
Aku jadi teringat kisah yang sering Mamak dan Mbah Putri ceritakan tentang masa lalu mereka. Namun beda. Tentu sangat berbeda. Karena meski kami tinggal di Jepara, kami tinggal di daerah Gunung Muria, sehingga tidak terlalu akrab dengan pesisir.
Akhirnya kuputuskan kembali menutupnya. Namun kali ini langsung kumasukkan tas ranselku dan bergegas pulang ke kos. "Hoaaaammm…." Rupanya aku sudah mengantuk.
***
Ah! Rupanya sudah setahun lebih yang lalu. Sekarang pukul 17:37 WIB tanggal 21 Agustus 2016. Nanti malam, seperti biasa, setiap Minggu malam aku ikut rutinan Kelas Membaca Pram di Kedai Kopi ABG, Patemon. Aku masih ingat betul, membaca roman Gadis Pantai butuh waktu sebulan untuk merampungkan.
Tanggal 16 April 2015 pukul 02.16 WIB aku sesenggukan di atas kasur mengakhiri kisah itu. Betapapun, begitu tegar dan kuat hati Gadis Pantai, aku tidak bisa membayangkan jika Gadis Pantai itu adalah aku. Roman Gadis Pantai merupakan karya Pram yang aku baca kali pertama. Setelah itu, aku mulai mencari dan membaca karya Pramoedya Ananta Toer. Meskipun aku tidak pandai menulis resensi dari sebuah buku, aku tetap suka membacanya. Meskipun kisah yang ditulis banyak tentang sejarah dan masa-masa lampau, aku tetap suka membacanya. Meskipun acap kali aku kurang paham dan susah mengungkapkan lewat lisan, aku masih tetap suka membacanya. Dan, tidak apa-apa kan aku tetap suka membaca karya Pramoedya meski belum pandai menulis resensi atau mengisahkan kembali? Mungkin aku butuh membacanya berulang kali untuk memahami dan sebelum mengisahkan kembali.
Semoga lain kesempatan aku bisa menulis resensi tentang Gadis Pantai dan karya lain dari Pram.
Sekaran, 21 Agustus 2016 17:57

Selasa, 16 Agustus 2016

Cerpen: Gandulan Sarunge Kiai


Yundra Karina

Dentang jarum jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Terlalu dini bagi seorang perempuan untuk begadang di kesunyian hari. Kucoba terbang ke masa lampau yang menggelayuti hatiku sejak senja tadi. Saraf-saraf kerinduan menyerang pupil mata sehingga terasa enggan diajak mengembara di alam mimpi. Dari bilik sebelah terdengar lirih lantunan ayat suci Alquran. Diam dalam sepi, kucoba mengingat kejadian kemarin.
Ndhuk, ada seseorang yang ingin Abah perkenalkan padamu. InsyaAllah dia orang baik.”
Sinten, Bah?” tanyaku pelan.
“Dia putra seorang Kiai di daerah Wonosobo. InsyaAllah kamu kelak dapat berjuang mencari ridhaNya, bersamanya.”
Aku tersenyum.
“Malam jum’at besok, ia beserta keluarganya akan silaturrahim ke sini. Datanglah ke sini ba’da maghrib.”
Inggih, Bah. InsyaAllah
Percakapan singkat itu kini memenuhi hati dan pikiranku. Kang Jaka. Tiba-tiba hatiku pilu mengingat nama itu. Sudah empat tahun ini aku masih setia menunggunya. Semenjak dia mendapat beasiswa kuliah di Mesir, semenjak itulah tiada kabar sedikitpun tentangnya. Tiba-tiba perasaan sebal mulai menelisik. Kenapa facebooknya selama ini tidak pernah aktif? Kenapa dia tidak pernah meneleponku meski hanya sekali? Ah! Kang Jaka. Sebentar lagi aku akan wisuda s2. Apa kamu tidak pernah merindukan adikmu yang nakal ini?
“Mbak Annisa kenapa menangis?” suara itu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Tidak terasa air mata menghiasi pipi tembemku.
“Eh! Mbak Husnul, saya baik-baik saja, Mbak.”
“Kok menangis begitu?”
“Hmmm, Saya rindu pada seseorang, Mbak.”
“Kalau Mbak Annisa tidak keberatan, insyaAllah saya siap mendengarkan curhatan Mbak.”
Sampeyan kenal Kang Jaka kan, Mbak?”
“Iya, Mbak. Memangnya ada apa dengan dia?”
“Sebelum dia berangkat ke mesir, dulu dia sempat minta pada saya untuk sabar menunggunya pulang.” air mata mulai membentuk aliran sungai kecil. “Sudah enam tahun saya mondok di sini, Mbak. Sudah bertahun pula saya ngabdi untuk keluarga dalem. Tapi ada suatu hal yang membuatku belum bisa sepenuhnya ikhlas dengan permintaan Abah kemarin.” lanjutku.
“Memangnya Abah minta apa, Mbak?”
“Kemarin malam Abah ngendikan kalau ada seseorang yang ingin dikenalkan pada saya. Tapi hati saya masih di Kang Jaka, Mbak.”
InsyaAllah ada jalan yang terbaik buat Mbak Annisa. Lagi pula Abah hanya ingin mengenalkan pemuda itu pada Mbak. Mbak Annisa husnudzan saja ya! Abah pun tidak memaksa Mbak untuk menerima pemuda itu, kan? Allah tentu sudah memperkirakan yang terbaik untuk hambaNya, Mbak.”
Inggih, Mbak. Amin. Mungkin ini yang sudah digariskan oleh Allah. Bismillah! matur suwun, Mbak. InsyaAllah saya akan menerima dengan lapang dada.”
“He-he jangan sedih, Mbak. Nanti cantiknya hilang lo!” ucapnya sambil menepuk pundakku lembut.
“Inggih, Mbak. Yuk ambil air wudu!”
Inggih, Mbak.”
***
Semakin aku bersyukur, aku merasa semakin bahagia. Kuhabiskan waktuku untuk belajar, mengaji dan mengabdi. Ketika kerinduan pada sesama makhluk membuat hatiku lemah, dengan segera aku mengambil air wudu dan membaca surah Ar-Rahman. Betapa Allah sangat mengasihi hamba-hambaNya. Aku tersenyum sendiri ketika lamunanku mengembara pada masa-masa di mana aku sangat senang memanjat pohon. Apalagi pergi memancing. Tidak terasa sebentar lagi aku akan wisuda s2. Alhamdulillah! Tiba-tiba tulisan jodoh hadir dengan sangat besar di depan mataku. Ah! Aku mulai ngelantur. Sepertinya efek membaca novel remaja mulai menyerang saraf otakku.
Ndhuk, lekas ke depan. Tamunya sudah rawuh. Tidak enak kalau mereka harus menunggu.”
Inggih, Umi.” jawabku sedikit ragu. Kuintip mobil sedan warna putih yang berada di teras dalem. Hatiku mulai tak keruan. “Bismillahirrahmanirrahim…” bathinku memantabkan hatiku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ah! tiba-tiba aku merasa masih remaja. Kenapa tiba-tiba canggung dan perasaanku tidak keruan seperti ini?
Kuurungkan hati menuju teras dalem. Kubalikkan badanku untuk kembali ke dapur.
Ndhuk, kenapa kamu ke dapur lagi?” Umi memegang pundakku. “Ya sudah, kamu tunggu di sini. Umi ke depan dulu. Tak perlu kamu canggung begitu, Ndhuk. Kalau kamu tidak suka pada pemuda itu, tentu Umi dan Abah tidak akan memaksa kamu.” Kulihat mata Umi yang memancarkan kasih sayang.
Ealah! Nak Jaka. Piye kabare? Tambah bagus yo, Pak?” Sayup-sayup kudengar pembicaraan di ruang tamu. Hatiku tambah tak menentu. Ah! mungkin aku salah dengar. Aku mulai menepis bayangan Kang Jaka yang tiba-tiba memenuhi pikiranku.
Ndhuk ayu, jajan-nya mbok dibawa keluar.”
Kudengar suara Abah yang memanggilku. “Ah! aku ini terlalu aneh. Toh, baru mau dikenalkan. Bukan langsung mau dinikahkan.” sekuat tenaga aku berusaha untuk menenangkan diriku sendiri.
Sejurus kemudian kuambil beberapa penganan yang sudah kami siapkan. Kulangkahkan kakiku seraya tersenyum. “Bismillah… lillahi ta’ala.”
Ketika memasuki ruang tamu, spontan kepalaku ingin menunduk. Entah kenapa perasaan belum siap masih memenuhi hatiku.
“Oh, ini toh Ndhuk Ayu Annisa. Cantik ya, Bah? Jaka sering cerita tentang Ndhuk Ayu.”
Deg! Jantungku berdetak tidak keruan mendengar suara itu. Kang Jaka? Jaka siapa? Jaka Tingkir? Apa Jaka Tarub? Tiba-tiba pikiranku mulai nyeleneh. Ngawur.
Kutegakkan kepalaku sambil tersenyum mencoba menghilangkan rasa tidak keruan di hatiku.
Sumangga, Pak, Bu.”
Seakan aku tak percaya dengan penglihatanku sendiri. Ya! Tepat di depanku, duduklah seseorang dengan santainya. Seseorang yang sudah tidak asing lagi dalam hidupku. Kang Jaka. Iya, Kang Jaka.
“Apa kabar Dik Annisa?” sapanya membuyarkan lamunanku. Senyum itu masih seperti dulu. Senyum simetris yang menenteramkan hatiku.
Alhamdulillah, Kang.” Kuanggukkan kepalaku pelan, ternyata jemariku sedikit bergetar.
Ndhuk Ayu…”
Tidak terasa butiran-butiran bening mulai menitik.
Tiba-tiba Kang Jaka menghampiriku.
“Dik… Apa kabar hati sampeyan? Apakah sampeyan masih menerima Akangmu yang nakal ini?”
Belum aku menjawab. Derai tawa terdengar renyah di ruang tamu kecil ini.
“Ah! Anak muda ada-ada saja ya, Bah?” Umi Kang Jaka tertawa kecil.
“Iya, Bu. Jadi teringat zaman masa muda.” Abah Kang Jaka menimpali seraya menepuk pundak putranya yang mirip dengan Abahnya itu.
“Bagaimana Ndhuk? Kok malah diam?” Tanya Abah sembari tersenyum.
Bismillah, insyaAllah inggih, Bah.” jawabku dipenuhi air mata. Tangis bahagia.
Alhamdulillah.” sontak semua orang yang ada di ruang kecil ini memanjatkan syukur pada Allah Yang Maha Pengasih.
Kang, Dik boleh tanya sesuatu?” mendengar aku berbicara, semua orang menyimak dengan pandangan penasaran.
“Boleh, Dik.”
“Hmmm, di Mesir tidak ada telepon ya?”
“He-he, ah! sampeyan mesti kangen sama Akang ya?”
“Kok begitu jawabnya?” aku tersipu malu.
Barokallahu fiik.” derai tawa pun mulai mengembang. Lagi dan lagi, Allah selalu mempunyai skenario hidup yang terindah untuk hamba-hambaNya. “Alhamdulillah!”
Malam makin beranjak, adzan isya’ mulai bersahutan tanda betapa butuhnya makhluk pada Sang Pencipta. Syukur seakan tak ingin berhenti dari hati. Senyum seakan tak ingin mengatup dari bibir tanda betapa sang pencipta mengasihi makhlukNya. Kini aku baru paham penyataan yang sering guru mengajiku waktu kecil sampaikan. Padahal sangat jelas waktu itu aku masih tidak paham sama sekali. “Gandulana sarunge Kiai, nggih, Nang, Ndhuk!”

***
      nb: gambar diunduh dari www.daarul-ukhuwwah.org

Minggu, 14 Agustus 2016

Cerpen: Merak dan Gagak


Yundra Karina

Tetes gerimis membasahi telapak tanganku. Sepertinya sudah terlalu lama aku menjulurkan tangan ke luar jendela kamar. Tak terasa malam semakin menggelayut. Embusan udara menggelitik kulitku yang secara langsung memberikan sinyal untuk segera membalikkan diri, lalu mengunci jendela.
“Belum tidur, Ning?” suara seorang pemuda mengagetkanku. Suara yang sudah tidak asing lagi bagiku.
“Eh, belum, Kang. Jam segini masih di luar memang dari mana, Kang?”
“Tadi ada latihan pencak silat di padepokan sebelah, Ning. Lumayan jauh. Tidak ada teman pula. Jadi jalan kaki sendirian.”
“Iya sudah, Kang. Sudah malam, tidak enak kalau ada orang yang lihat. Lekas Kang Sigit pulang. Hati-hati di jalan.”
“Iya, Ning. Terima kasih. Saya pulang dahulu.”
Kubalikkan tubuhku setelah memastikan bayangan sesosok pemuda itu hilang di balik tikungan. Angin semilir sepoi-sepoi. Kututup tirai jendela yang kontras dengan cahaya lampu yang redup. Hampir setiap hari aku sempatkan menunggu seseorang dari balik tirai jendela kamarku berharap dapat melihat siluetnya meski sekilas atau sesekali mengobrol sebentar.
Kang Sigit. Iya, namanya Sigit. Ia pemuda yang aku kenal dua tahun terakhir ini. Orang tuanya asli Pasuruan mengajaknya pindah ke kampung ini. Waktu itu aku baru lulus SMA ketika teman-teman sebayaku sedang gencar membicarakan seseorang yang spesial di hati. Selain mempunyai perawakan yang tinggi semampai dan wajah yang tampan, Kang Sigit terkenal jago silat dan sangat baik di kalangan warga kampung.
Rumahnya pun tidak jauh dari rumahku. Lagipula jalan utama menuju kampung sebelah tepat di samping rumahku sehingga cukup dengan membuka jendela aku bisa melihat siapa saja yang lewat. Hingga saat ini aku hanya bisa mengaguminya dari jauh. Mengobrol sebentar ketika tidak sengaja berpapasan atau hanya melihatnya sekilas dari balik tirai. Meski pendatang baru, keluarganya bisa dibilang keluarga priayi di kampung ini.
Sepertinya kantukku sudah tidak mau diajak kompromi lagi. Dengan bermodalkan selimut dan bantal, kubenamkan mukaku menuju alam lain. Alam mimpi.
***
Sekali dua kali kutolehkan wajahku pada Mbak Anis. Setelah seharian ini mengoceh tidak jelas, kini ia malah asyik berpacaran di dekat sungai meninggalkanku seorang diri sebagai obat antinyamuk lengkap menjabat sebagai hansip. Kalau bukan karena takut tidak jadi diajak ke Jogja minggu depan tentu aku sudah kabur meninggalkannya. Aku merasa ini tidak adil. Kalau aku kabur tentu minggu depan lagi-lagi aku tidak bisa melihat kampus Mbak Anis yang selama ini sering dia ceritakan padaku.
“Ning, kamu lagi ngapain di sini?” Aku tahu suara khas itu.
“Eh, Kang Sigit. Anu, Kang..., anu...” jawabku bingung. Kaget bercampur malu.
“He-he, iya. Kamu di sini lagi ngapain? Kok sendirian di sungai?” wajahnya yang penuh senyum simetris itu mematungkanku.
“Ning… Ning… hei! Ha-ha ah! kamu ini unik sekali. Ditanya malah bengong begitu kenapa? Atau, jangan-jangan kamu kesurupan?” Kang Sigit menggodaku.
“Eh! tidak apa-apa, Kang. Kang Sigit dari mana? Kok sendirian juga?”
“Iya, Ning. Menyenangkan sekali bisa menyusuri jalan-jalan kecil di antara pematang sawah. Sekalian bisa nangkap belalang buat makan burung. Ayo kita jalan-jalan bareng. Bukankah kita tidak pernah ngobrol lama?”
“Eh! Hmmm, iya, Kang.” Kuanggukkan kepalaku.
Tuhan, kutarik kembali prasangkaku. Tolong ampuni hamba-Mu yang nakal ini. Mungkin ini hikmah tersembunyi di balik lelah menunggu Mbak Anis. Aku tersenyum membayangkan Mbak Anis yang kebingungan mencariku.
“Ning…”
“Iya, Kang…”
“Boleh saya tanya sesuatu?”
“Silakan, Kang. Memang Kang Sigit mau tanya apa pada Ning?” aku sedikit gugup menatap wajah itu. Wajah manis itu.
“Ning. Apakah kamu tahu perbedaan burung merak dan gagak?”
Aku diam sejenak. Kenapa Kang Sigit bertanya soal burung? Apa Kang Sigit ingin memelihara burung? Lalu kenapa ia tanya pada seorang gadis seperti aku yang jelas-jelas sangat awam mengenai burung dan hewan lain?
“Emmm… Emmm... setahu Ning warna bulunya, Kang.” jawabku malu-malu.
“Warna burung merak bagus, Kang. Berwarna-warni. Sedangkan burung gagak berwarna hitam, Kang,” lanjutku.
“Iya, Ning. Meskipun mereka sama-sama burung, banyak hal yang membedakan mereka. Apakah kamu tahu, Ning? Ketika seekor burung gagak berusaha mengubah diri agar bisa seperti burung merak. Meskipun ia rela mati-matian berusaha. Ia akan tetap menjadi gagak. Meskipun ia mencabut seluruh bulu atau mewarnai bulu seperti merak, ia akan tetap menjadi gagak. Suara dan bulunya takkan pernah menyamai burung merak.” Kang Sigit terdiam sejenak.
“Dan hukum itu berlaku dalam hidup manusia, Ning. Derajat, pangkat, warna kulit terkadang masih dielu-elukan. Mustahil seekor gagak dapat diterima baik di sekumpulan burung merak, Ning. Meskipun kita sudah berusaha mati-matian berubah, burung gagak akan tetap dianggap sebagai burung gagak, Ning. Tak mungkin bisa berubah menjadi merak.” Kulihat mata Kang Sigit berlinang. Meskipun samar-samar, aku yakin ia berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak runtuh.
“Tidak, Kang. Tidak selamanya itu semua benar. Bukankah yang terpenting burung gagak sudah berusaha? Kenapa Kang Sigit tiba-tiba sedih? Apakah Kang Sigit sedang jatuh cinta pada seorang gadis?” tanyaku dengan bibir gemetar.
“Iya, Ning. Aku mencintai seorang gadis. Namun keluargaku menentang keras-keras karena beranggapan derajat kami berbeda. Aku mencintai sejak dulu, Ning. Sejak awal perjumpaanku dengannya dua tahun lalu. Aku selalu merindukannya, Ning. Aku merindukanmu.”
Satu kata itu tepat melesat sepersekian detik melewati sudut waktu. Aku tak akan pernah berani bermimpi dapat dia cintai. Atau aku hanya salah dengar?
“A.. a.. apa, Kang?”
“Aku mencintaimu, Ning. Sejak dulu. Namun aku tak kuasa melawan kehendak orang tua.” Kang Sigit menahan isak.
Aku tak sanggup menutupi kekagetanku. “Eh! Kang, Mungkin ini mimpi bagi Ning dapat Kang Sigit cintai. Karena sebenarnya Ning juga mencintai Kang Sigit. Meskipun Ning menjadi seperti burung gagak. Ning akan menikmati hidup Ning sebagai seekor gagak. Karena itu adalah anugerah dan rezeki dari Tuhan untuk Ning. Namun, Kang! Ning akan selalu berusaha menjadi gagak yang terbaik. Gagak yang bermanfaat. Setidaknya untuk sekumpulan gagak.”
“Mungkin kelak Ning dapat berjumpa sekumpulan merak. Namun Ning akan tetap bangga menjadi diri Ning. Ning tak perlu mati-matian mencabuti bulu Ning atau mewarnai bulu Ning. Ning cukup menjadi diri Ning apa adanya, Kang. Ning bersyukur, meski Ning hanya tercipta seperti seekor gagak. Ning tak akan marah pada Sang Pencipta. Ning terima, Kang.” Aku gemetaran. Meskipun dengan sekuat tenaga kucoba untuk terlihat tegar, rupanya aku tak mampu menahan tangis yang tak terdengar.
“Apakah kita masih bisa bertemu lagi esok atau lusa, Ning? Semoga aku mampu menyapu dukamu dengan selembar senyum yang basah.”
Pelan kutundukkan wajahku. Hamparan hijau sawah yang dipenuhi palawija. Aliran air sungai yang mengalir dengan tenang. Suara kicau burung dan jangkrik yang bersahutan seakan membuat alunan melodi yang syahdu.
***
nb: gambar diunduh dari buasirotak.blogspot.com