Dentang
jarum jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Terlalu dini bagi seorang
perempuan untuk begadang di kesunyian hari. Kucoba terbang ke masa lampau yang
menggelayuti hatiku sejak senja tadi. Saraf-saraf kerinduan menyerang pupil
mata sehingga terasa enggan diajak mengembara di alam mimpi. Dari bilik sebelah
terdengar lirih lantunan ayat suci Alquran. Diam dalam sepi, kucoba mengingat
kejadian kemarin.
“Ndhuk,
ada seseorang yang ingin Abah perkenalkan padamu. InsyaAllah dia orang
baik.”
“Sinten,
Bah?” tanyaku pelan.
“Dia
putra seorang Kiai di daerah Wonosobo. InsyaAllah kamu kelak dapat berjuang
mencari ridhaNya, bersamanya.”
Aku
tersenyum.
“Malam
jum’at besok, ia beserta keluarganya akan silaturrahim ke sini. Datanglah ke
sini ba’da maghrib.”
“Inggih,
Bah. InsyaAllah”
Percakapan
singkat itu kini memenuhi hati dan pikiranku. Kang Jaka. Tiba-tiba hatiku pilu
mengingat nama itu. Sudah empat tahun ini aku masih setia menunggunya. Semenjak
dia mendapat beasiswa kuliah di Mesir, semenjak itulah tiada kabar sedikitpun
tentangnya. Tiba-tiba perasaan sebal mulai menelisik. Kenapa facebooknya
selama ini tidak pernah aktif? Kenapa dia tidak pernah meneleponku meski hanya
sekali? Ah! Kang Jaka. Sebentar lagi aku akan wisuda s2. Apa kamu tidak pernah merindukan
adikmu yang nakal ini?
“Mbak
Annisa kenapa menangis?” suara itu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Tidak
terasa air mata menghiasi pipi tembemku.
“Eh!
Mbak Husnul, saya baik-baik saja, Mbak.”
“Kok
menangis begitu?”
“Hmmm,
Saya rindu pada seseorang, Mbak.”
“Kalau
Mbak Annisa tidak keberatan, insyaAllah saya siap mendengarkan curhatan
Mbak.”
“Sampeyan
kenal Kang Jaka kan, Mbak?”
“Iya,
Mbak. Memangnya ada apa dengan dia?”
“Sebelum
dia berangkat ke mesir, dulu dia sempat minta pada saya untuk sabar menunggunya
pulang.” air mata mulai membentuk aliran sungai kecil. “Sudah enam tahun saya
mondok di sini, Mbak. Sudah bertahun pula saya ngabdi untuk keluarga dalem.
Tapi ada suatu hal yang membuatku belum bisa sepenuhnya ikhlas dengan
permintaan Abah kemarin.” lanjutku.
“Memangnya
Abah minta apa, Mbak?”
“Kemarin
malam Abah ngendikan kalau ada seseorang yang ingin dikenalkan pada
saya. Tapi hati saya masih di Kang Jaka, Mbak.”
“InsyaAllah
ada jalan yang terbaik buat Mbak Annisa. Lagi pula Abah hanya ingin mengenalkan
pemuda itu pada Mbak. Mbak Annisa husnudzan saja ya! Abah pun tidak
memaksa Mbak untuk menerima pemuda itu, kan? Allah tentu sudah memperkirakan
yang terbaik untuk hambaNya, Mbak.”
“Inggih,
Mbak. Amin. Mungkin ini yang sudah digariskan oleh Allah. Bismillah! matur
suwun, Mbak. InsyaAllah saya akan menerima dengan lapang dada.”
“He-he
jangan sedih, Mbak. Nanti cantiknya hilang lo!” ucapnya sambil menepuk pundakku
lembut.
“Inggih,
Mbak. Yuk ambil air wudu!”
“Inggih,
Mbak.”
***
Semakin
aku bersyukur, aku merasa semakin bahagia. Kuhabiskan waktuku untuk belajar,
mengaji dan mengabdi. Ketika kerinduan pada sesama makhluk membuat hatiku
lemah, dengan segera aku mengambil air wudu dan membaca surah Ar-Rahman.
Betapa Allah sangat mengasihi hamba-hambaNya. Aku tersenyum sendiri ketika
lamunanku mengembara pada masa-masa di mana aku sangat senang memanjat pohon.
Apalagi pergi memancing. Tidak terasa sebentar lagi aku akan wisuda s2. Alhamdulillah!
Tiba-tiba tulisan jodoh hadir dengan sangat besar di depan mataku. Ah! Aku
mulai ngelantur. Sepertinya efek membaca novel remaja mulai menyerang saraf
otakku.
“Ndhuk,
lekas ke depan. Tamunya sudah rawuh. Tidak enak kalau mereka harus menunggu.”
“Inggih,
Umi.” jawabku sedikit ragu. Kuintip mobil sedan warna putih yang berada di
teras dalem. Hatiku mulai tak keruan. “Bismillahirrahmanirrahim…”
bathinku memantabkan hatiku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ah!
tiba-tiba aku merasa masih remaja. Kenapa tiba-tiba canggung dan perasaanku tidak
keruan seperti ini?
Kuurungkan
hati menuju teras dalem. Kubalikkan badanku untuk kembali ke dapur.
“Ndhuk,
kenapa kamu ke dapur lagi?” Umi memegang pundakku. “Ya sudah, kamu tunggu di
sini. Umi ke depan dulu. Tak perlu kamu canggung begitu, Ndhuk. Kalau kamu
tidak suka pada pemuda itu, tentu Umi dan Abah tidak akan memaksa kamu.”
Kulihat mata Umi yang memancarkan kasih sayang.
“Ealah!
Nak Jaka. Piye kabare? Tambah bagus yo, Pak?” Sayup-sayup kudengar
pembicaraan di ruang tamu. Hatiku tambah tak menentu. Ah! mungkin aku salah
dengar. Aku mulai menepis bayangan Kang Jaka yang tiba-tiba memenuhi pikiranku.
“Ndhuk
ayu, jajan-nya mbok dibawa keluar.”
Kudengar
suara Abah yang memanggilku. “Ah! aku ini terlalu aneh. Toh, baru mau
dikenalkan. Bukan langsung mau dinikahkan.” sekuat tenaga aku berusaha untuk
menenangkan diriku sendiri.
Sejurus
kemudian kuambil beberapa penganan yang sudah kami siapkan. Kulangkahkan kakiku
seraya tersenyum. “Bismillah… lillahi ta’ala.”
Ketika
memasuki ruang tamu, spontan kepalaku ingin menunduk. Entah kenapa perasaan
belum siap masih memenuhi hatiku.
“Oh,
ini toh Ndhuk Ayu Annisa. Cantik ya, Bah? Jaka sering cerita tentang Ndhuk
Ayu.”
Deg!
Jantungku berdetak tidak keruan mendengar suara itu. Kang Jaka? Jaka siapa? Jaka
Tingkir? Apa Jaka Tarub? Tiba-tiba pikiranku mulai nyeleneh. Ngawur.
Kutegakkan
kepalaku sambil tersenyum mencoba menghilangkan rasa tidak keruan di hatiku.
“Sumangga,
Pak, Bu.”
Seakan
aku tak percaya dengan penglihatanku sendiri. Ya! Tepat di depanku, duduklah
seseorang dengan santainya. Seseorang yang sudah tidak asing lagi dalam
hidupku. Kang Jaka. Iya, Kang Jaka.
“Apa
kabar Dik Annisa?” sapanya membuyarkan lamunanku. Senyum itu masih seperti
dulu. Senyum simetris yang menenteramkan hatiku.
“Alhamdulillah,
Kang.” Kuanggukkan kepalaku pelan, ternyata jemariku sedikit bergetar.
“Ndhuk
Ayu…”
Tidak
terasa butiran-butiran bening mulai menitik.
Tiba-tiba
Kang Jaka menghampiriku.
“Dik…
Apa kabar hati sampeyan? Apakah sampeyan masih menerima Akangmu
yang nakal ini?”
Belum
aku menjawab. Derai tawa terdengar renyah di ruang tamu kecil ini.
“Ah!
Anak muda ada-ada saja ya, Bah?” Umi Kang Jaka tertawa kecil.
“Iya,
Bu. Jadi teringat zaman masa muda.” Abah Kang Jaka menimpali seraya menepuk
pundak putranya yang mirip dengan Abahnya itu.
“Bagaimana
Ndhuk? Kok malah diam?” Tanya Abah sembari tersenyum.
“Bismillah,
insyaAllah inggih, Bah.” jawabku dipenuhi air mata. Tangis bahagia.
“Alhamdulillah.”
sontak semua orang yang ada di ruang kecil ini memanjatkan syukur pada
Allah Yang Maha Pengasih.
“Kang,
Dik boleh tanya sesuatu?” mendengar aku berbicara, semua orang menyimak dengan pandangan
penasaran.
“Boleh,
Dik.”
“Hmmm,
di Mesir tidak ada telepon ya?”
“He-he,
ah! sampeyan mesti kangen sama Akang ya?”
“Kok
begitu jawabnya?” aku tersipu malu.
“Barokallahu
fiik.” derai tawa pun mulai mengembang. Lagi dan lagi, Allah selalu
mempunyai skenario hidup yang terindah untuk hamba-hambaNya. “Alhamdulillah!”
Malam
makin beranjak, adzan isya’ mulai bersahutan tanda betapa butuhnya makhluk pada
Sang Pencipta. Syukur seakan tak ingin berhenti dari hati. Senyum seakan tak
ingin mengatup dari bibir tanda betapa sang pencipta mengasihi makhlukNya. Kini
aku baru paham penyataan yang sering guru mengajiku waktu kecil sampaikan.
Padahal sangat jelas waktu itu aku masih tidak paham sama sekali. “Gandulana
sarunge Kiai, nggih, Nang, Ndhuk!”
***
nb: gambar diunduh dari www.daarul-ukhuwwah.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar