Selasa, 16 Agustus 2016

Cerpen: Gandulan Sarunge Kiai


Yundra Karina

Dentang jarum jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Terlalu dini bagi seorang perempuan untuk begadang di kesunyian hari. Kucoba terbang ke masa lampau yang menggelayuti hatiku sejak senja tadi. Saraf-saraf kerinduan menyerang pupil mata sehingga terasa enggan diajak mengembara di alam mimpi. Dari bilik sebelah terdengar lirih lantunan ayat suci Alquran. Diam dalam sepi, kucoba mengingat kejadian kemarin.
Ndhuk, ada seseorang yang ingin Abah perkenalkan padamu. InsyaAllah dia orang baik.”
Sinten, Bah?” tanyaku pelan.
“Dia putra seorang Kiai di daerah Wonosobo. InsyaAllah kamu kelak dapat berjuang mencari ridhaNya, bersamanya.”
Aku tersenyum.
“Malam jum’at besok, ia beserta keluarganya akan silaturrahim ke sini. Datanglah ke sini ba’da maghrib.”
Inggih, Bah. InsyaAllah
Percakapan singkat itu kini memenuhi hati dan pikiranku. Kang Jaka. Tiba-tiba hatiku pilu mengingat nama itu. Sudah empat tahun ini aku masih setia menunggunya. Semenjak dia mendapat beasiswa kuliah di Mesir, semenjak itulah tiada kabar sedikitpun tentangnya. Tiba-tiba perasaan sebal mulai menelisik. Kenapa facebooknya selama ini tidak pernah aktif? Kenapa dia tidak pernah meneleponku meski hanya sekali? Ah! Kang Jaka. Sebentar lagi aku akan wisuda s2. Apa kamu tidak pernah merindukan adikmu yang nakal ini?
“Mbak Annisa kenapa menangis?” suara itu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Tidak terasa air mata menghiasi pipi tembemku.
“Eh! Mbak Husnul, saya baik-baik saja, Mbak.”
“Kok menangis begitu?”
“Hmmm, Saya rindu pada seseorang, Mbak.”
“Kalau Mbak Annisa tidak keberatan, insyaAllah saya siap mendengarkan curhatan Mbak.”
Sampeyan kenal Kang Jaka kan, Mbak?”
“Iya, Mbak. Memangnya ada apa dengan dia?”
“Sebelum dia berangkat ke mesir, dulu dia sempat minta pada saya untuk sabar menunggunya pulang.” air mata mulai membentuk aliran sungai kecil. “Sudah enam tahun saya mondok di sini, Mbak. Sudah bertahun pula saya ngabdi untuk keluarga dalem. Tapi ada suatu hal yang membuatku belum bisa sepenuhnya ikhlas dengan permintaan Abah kemarin.” lanjutku.
“Memangnya Abah minta apa, Mbak?”
“Kemarin malam Abah ngendikan kalau ada seseorang yang ingin dikenalkan pada saya. Tapi hati saya masih di Kang Jaka, Mbak.”
InsyaAllah ada jalan yang terbaik buat Mbak Annisa. Lagi pula Abah hanya ingin mengenalkan pemuda itu pada Mbak. Mbak Annisa husnudzan saja ya! Abah pun tidak memaksa Mbak untuk menerima pemuda itu, kan? Allah tentu sudah memperkirakan yang terbaik untuk hambaNya, Mbak.”
Inggih, Mbak. Amin. Mungkin ini yang sudah digariskan oleh Allah. Bismillah! matur suwun, Mbak. InsyaAllah saya akan menerima dengan lapang dada.”
“He-he jangan sedih, Mbak. Nanti cantiknya hilang lo!” ucapnya sambil menepuk pundakku lembut.
“Inggih, Mbak. Yuk ambil air wudu!”
Inggih, Mbak.”
***
Semakin aku bersyukur, aku merasa semakin bahagia. Kuhabiskan waktuku untuk belajar, mengaji dan mengabdi. Ketika kerinduan pada sesama makhluk membuat hatiku lemah, dengan segera aku mengambil air wudu dan membaca surah Ar-Rahman. Betapa Allah sangat mengasihi hamba-hambaNya. Aku tersenyum sendiri ketika lamunanku mengembara pada masa-masa di mana aku sangat senang memanjat pohon. Apalagi pergi memancing. Tidak terasa sebentar lagi aku akan wisuda s2. Alhamdulillah! Tiba-tiba tulisan jodoh hadir dengan sangat besar di depan mataku. Ah! Aku mulai ngelantur. Sepertinya efek membaca novel remaja mulai menyerang saraf otakku.
Ndhuk, lekas ke depan. Tamunya sudah rawuh. Tidak enak kalau mereka harus menunggu.”
Inggih, Umi.” jawabku sedikit ragu. Kuintip mobil sedan warna putih yang berada di teras dalem. Hatiku mulai tak keruan. “Bismillahirrahmanirrahim…” bathinku memantabkan hatiku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ah! tiba-tiba aku merasa masih remaja. Kenapa tiba-tiba canggung dan perasaanku tidak keruan seperti ini?
Kuurungkan hati menuju teras dalem. Kubalikkan badanku untuk kembali ke dapur.
Ndhuk, kenapa kamu ke dapur lagi?” Umi memegang pundakku. “Ya sudah, kamu tunggu di sini. Umi ke depan dulu. Tak perlu kamu canggung begitu, Ndhuk. Kalau kamu tidak suka pada pemuda itu, tentu Umi dan Abah tidak akan memaksa kamu.” Kulihat mata Umi yang memancarkan kasih sayang.
Ealah! Nak Jaka. Piye kabare? Tambah bagus yo, Pak?” Sayup-sayup kudengar pembicaraan di ruang tamu. Hatiku tambah tak menentu. Ah! mungkin aku salah dengar. Aku mulai menepis bayangan Kang Jaka yang tiba-tiba memenuhi pikiranku.
Ndhuk ayu, jajan-nya mbok dibawa keluar.”
Kudengar suara Abah yang memanggilku. “Ah! aku ini terlalu aneh. Toh, baru mau dikenalkan. Bukan langsung mau dinikahkan.” sekuat tenaga aku berusaha untuk menenangkan diriku sendiri.
Sejurus kemudian kuambil beberapa penganan yang sudah kami siapkan. Kulangkahkan kakiku seraya tersenyum. “Bismillah… lillahi ta’ala.”
Ketika memasuki ruang tamu, spontan kepalaku ingin menunduk. Entah kenapa perasaan belum siap masih memenuhi hatiku.
“Oh, ini toh Ndhuk Ayu Annisa. Cantik ya, Bah? Jaka sering cerita tentang Ndhuk Ayu.”
Deg! Jantungku berdetak tidak keruan mendengar suara itu. Kang Jaka? Jaka siapa? Jaka Tingkir? Apa Jaka Tarub? Tiba-tiba pikiranku mulai nyeleneh. Ngawur.
Kutegakkan kepalaku sambil tersenyum mencoba menghilangkan rasa tidak keruan di hatiku.
Sumangga, Pak, Bu.”
Seakan aku tak percaya dengan penglihatanku sendiri. Ya! Tepat di depanku, duduklah seseorang dengan santainya. Seseorang yang sudah tidak asing lagi dalam hidupku. Kang Jaka. Iya, Kang Jaka.
“Apa kabar Dik Annisa?” sapanya membuyarkan lamunanku. Senyum itu masih seperti dulu. Senyum simetris yang menenteramkan hatiku.
Alhamdulillah, Kang.” Kuanggukkan kepalaku pelan, ternyata jemariku sedikit bergetar.
Ndhuk Ayu…”
Tidak terasa butiran-butiran bening mulai menitik.
Tiba-tiba Kang Jaka menghampiriku.
“Dik… Apa kabar hati sampeyan? Apakah sampeyan masih menerima Akangmu yang nakal ini?”
Belum aku menjawab. Derai tawa terdengar renyah di ruang tamu kecil ini.
“Ah! Anak muda ada-ada saja ya, Bah?” Umi Kang Jaka tertawa kecil.
“Iya, Bu. Jadi teringat zaman masa muda.” Abah Kang Jaka menimpali seraya menepuk pundak putranya yang mirip dengan Abahnya itu.
“Bagaimana Ndhuk? Kok malah diam?” Tanya Abah sembari tersenyum.
Bismillah, insyaAllah inggih, Bah.” jawabku dipenuhi air mata. Tangis bahagia.
Alhamdulillah.” sontak semua orang yang ada di ruang kecil ini memanjatkan syukur pada Allah Yang Maha Pengasih.
Kang, Dik boleh tanya sesuatu?” mendengar aku berbicara, semua orang menyimak dengan pandangan penasaran.
“Boleh, Dik.”
“Hmmm, di Mesir tidak ada telepon ya?”
“He-he, ah! sampeyan mesti kangen sama Akang ya?”
“Kok begitu jawabnya?” aku tersipu malu.
Barokallahu fiik.” derai tawa pun mulai mengembang. Lagi dan lagi, Allah selalu mempunyai skenario hidup yang terindah untuk hamba-hambaNya. “Alhamdulillah!”
Malam makin beranjak, adzan isya’ mulai bersahutan tanda betapa butuhnya makhluk pada Sang Pencipta. Syukur seakan tak ingin berhenti dari hati. Senyum seakan tak ingin mengatup dari bibir tanda betapa sang pencipta mengasihi makhlukNya. Kini aku baru paham penyataan yang sering guru mengajiku waktu kecil sampaikan. Padahal sangat jelas waktu itu aku masih tidak paham sama sekali. “Gandulana sarunge Kiai, nggih, Nang, Ndhuk!”

***
      nb: gambar diunduh dari www.daarul-ukhuwwah.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar