Minggu, 21 Agustus 2016

Cerpen: Aku dan Gadis Pantai


Aku dan Gadis Pantai

Yundra Karina

Aku melangkah menuju kursi di pojok ruangan. Aku tak mungkin menghabiskan waktu untuk mengamati dan menguping pembicaraan mereka secara diam-diam. Lagipula ada kewajiban yang harus kurampungkan. Minggu ini jatahku melahap salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer.
Kukeluarkan novel itu. Buku bersampul hijau bergambar seorang gadis desa memakai kebaya dan jarit yang diikat dengan udhet, dengan latar belakang pantai beserta ombak kecil yang bergulung, dan dua orang lelaki yang berbeda dari segala sisi.
Ah! Terlalu lama kuamati sampul hijau itu. Setelah kubaca blurb di sampul bagian belakang, kulirik jam tanganku untuk memastikan pukul berapa aku mulai membaca novel Gadis Pantai. Kebiasaan aneh memang.
Kubuka lembar pertama, kutulis di bagian pojok kanan atas: mulai baca pukul 00.00 tanggal 15 Maret 2015. Sore tadi, aku bersama temanku, Akhil, berburu buku di Stadion Diponegoro Semarang. Seperti biasa, aku mencari beberapa novel karya Dewi Lestari, Andrea Hirata, dan Tere Liye. Sudah empat tahun terakhir aku gandrung pada karya-karya mereka.
"Mbak Yundra sudah pernah baca buku karya Pramoedya Ananta Toer?"
"Eh, belum pernah, Dik. Belum tahu juga penulis itu."
"Ah, masa Mbak Yundra enggak tahu Pramoedya sih? Dia kan penulis terkenal."
"Beneran, Dik. Bagus pa? Soale belum pernah dengar dan belum tahu siapa Pramoedya."
"Bagus banget, Mbak. Kemarin aku diberi Kak Sa’id, judulnya Bumi Manusia. Mbak Yundra harus baca novel itu. Pokoknya bagus. He-he."
"Kak Sa’id siapa?"
"Yang ngajar di fakultas hukum itu lo, Mbak. Yang pernah aku ceritain."
"Oh, hmmm, ya sudah. Tambah satu novel lagi yang harus kubeli kalau begitu."
Aku bertanya pada abang penjual dan ternyata stok Bumi Manusia kosong. Yang ada Gadis Pantai dan Bukan Pasar Malam. Awalnya berencana menambah satu novel, akhirnya malah nambah dua.
"Saya ambil dua-duanya, Bang," ujarku setelah melihat sampul dan blurb dua novel itu.
"Dua minggu lagi kemungkinan tetralogi Bumi Manusia sudah ada, Mbak. Mbak bisa meninggalkan nomor HP, kalau bukunya sudah datang, nanti saya kabari."
"Baik, Bang. Terima kasih ya."
Ya. Akhirnya sore tadi aku memborong enam novel. Dua karya Dewi Lestari, satu karya Andrea Hirata, satu karya Tere Liye, dan dua karya Pramoedya Ananta Toer.
Aku benar-benar tidak tahu siapa Pramoedya Ananta Toer. Jadi, inilah pengalaman pertamaku bersinggungan dengan karyanya.
Kuseruput es cokelatku. Di sela-sela mengerjakan proposal skripsi memang butuh bacaan ringan untuk sekadar menghilangkan penat dan rasa suntuk. Bacaan ringan? Iya. Aku suka membaca karya mereka karena menurutku karya mereka cukup ringan untuk disantap sembari cekikikan atau menangis sendirian.
"Apakah karya Pramoedya Ananta Toer juga termasuk bacaan ringan? Ah, aku enggak tahu dan enggak bakal tahu sebelum aku membaca dan menyelami." Aku berbicara sendiri di dalam hati.
Kubuka halaman pertama. Belum! Belum sampai bagian pertama, masih pada halaman-halaman awal, dan aku merasa waktu berjalan sangat lambat.
"Seorang maestro sastra, tapi aku tak mengenalnya sama sekali. Jadi selama ini aku ke mana saja? Aku ngapain saja?" aku bergumam lirih.
"Aku pergi ke Jakarta. Dia pun pergi, hanya untuk selama-lamanya. Dia, nenek darahku sendiri, pribadi yang kucintai, kukagumi, kubanggakan. Inilah tebusan janjiku. Pada dia yang tak pernah ceritakan sejarah diri. Dia yang tak pernah kuketahui namanya. Maka cerita ini kubangun dari berita orang lain, dari yang dapat kusaksikan, kukhayalkan, kutuangkan."
Deg! Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Padahal baru membaca pengantar dan tetek-bengek pada awalan sebelum bagian pertama, aku seperti merasakan sesuatu yang nyata. Bukan hanya khayalan atau fiktif belaka. Kututup novel itu.
Kunyalakan handphone-ku, kubuka Google, kuketik di pencarian: biografi Pramoedya Ananta Toer. Malam makin merangkak menuju pagi. Pukul satu dini hari, rupanya. Kubuka novel Gadis Pantai lagi, "Bagian Pertama". Gumamku pelan, dan aku mulai menyelam, menyelam, dan menyelam.
Baru sepuluh lembar dan aku mulai gelagapan. Ah, mungkin karena masih awal persinggunganku dengan karya Pram. Namun membaca kisah ini, seakan aku déjà vu entah pada apa atau pada siapa. "Berat, terlalu berat untukku. Ini bukan bacaan ringan." Lagi-lagi, aku bercakap dengan diri sendiri. Di dalam hati. Namun tak bisa kumungkiri, aku penasaran dengan lanjutannya.
Aku jadi teringat kisah yang sering Mamak dan Mbah Putri ceritakan tentang masa lalu mereka. Namun beda. Tentu sangat berbeda. Karena meski kami tinggal di Jepara, kami tinggal di daerah Gunung Muria, sehingga tidak terlalu akrab dengan pesisir.
Akhirnya kuputuskan kembali menutupnya. Namun kali ini langsung kumasukkan tas ranselku dan bergegas pulang ke kos. "Hoaaaammm…." Rupanya aku sudah mengantuk.
***
Ah! Rupanya sudah setahun lebih yang lalu. Sekarang pukul 17:37 WIB tanggal 21 Agustus 2016. Nanti malam, seperti biasa, setiap Minggu malam aku ikut rutinan Kelas Membaca Pram di Kedai Kopi ABG, Patemon. Aku masih ingat betul, membaca roman Gadis Pantai butuh waktu sebulan untuk merampungkan.
Tanggal 16 April 2015 pukul 02.16 WIB aku sesenggukan di atas kasur mengakhiri kisah itu. Betapapun, begitu tegar dan kuat hati Gadis Pantai, aku tidak bisa membayangkan jika Gadis Pantai itu adalah aku. Roman Gadis Pantai merupakan karya Pram yang aku baca kali pertama. Setelah itu, aku mulai mencari dan membaca karya Pramoedya Ananta Toer. Meskipun aku tidak pandai menulis resensi dari sebuah buku, aku tetap suka membacanya. Meskipun kisah yang ditulis banyak tentang sejarah dan masa-masa lampau, aku tetap suka membacanya. Meskipun acap kali aku kurang paham dan susah mengungkapkan lewat lisan, aku masih tetap suka membacanya. Dan, tidak apa-apa kan aku tetap suka membaca karya Pramoedya meski belum pandai menulis resensi atau mengisahkan kembali? Mungkin aku butuh membacanya berulang kali untuk memahami dan sebelum mengisahkan kembali.
Semoga lain kesempatan aku bisa menulis resensi tentang Gadis Pantai dan karya lain dari Pram.
Sekaran, 21 Agustus 2016 17:57

1 komentar: