Yundra
Karina
Tetes
gerimis membasahi telapak tanganku. Sepertinya sudah terlalu lama aku
menjulurkan tangan ke luar jendela kamar. Tak terasa malam semakin menggelayut.
Embusan udara menggelitik kulitku yang secara langsung memberikan sinyal untuk
segera membalikkan diri, lalu mengunci jendela.
“Belum
tidur, Ning?” suara seorang pemuda mengagetkanku. Suara yang sudah tidak asing
lagi bagiku.
“Eh,
belum, Kang. Jam segini masih di luar memang dari mana, Kang?”
“Tadi
ada latihan pencak silat di padepokan sebelah, Ning. Lumayan jauh. Tidak ada
teman pula. Jadi jalan kaki sendirian.”
“Iya
sudah, Kang. Sudah malam, tidak enak kalau ada orang yang lihat. Lekas Kang
Sigit pulang. Hati-hati di jalan.”
“Iya,
Ning. Terima kasih. Saya pulang dahulu.”
Kubalikkan
tubuhku setelah memastikan bayangan sesosok pemuda itu hilang di balik
tikungan. Angin semilir sepoi-sepoi. Kututup tirai jendela yang kontras dengan
cahaya lampu yang redup. Hampir
setiap hari aku sempatkan
menunggu seseorang dari balik tirai jendela kamarku
berharap dapat melihat siluetnya meski sekilas atau
sesekali mengobrol sebentar.
Kang Sigit. Iya, namanya Sigit. Ia pemuda yang aku kenal dua tahun
terakhir ini. Orang tuanya asli Pasuruan mengajaknya pindah ke kampung ini.
Waktu itu aku baru lulus SMA ketika teman-teman sebayaku sedang gencar
membicarakan seseorang yang spesial di hati. Selain mempunyai perawakan yang tinggi semampai dan
wajah yang tampan, Kang Sigit terkenal jago silat dan sangat baik di kalangan warga
kampung.
Rumahnya pun tidak jauh dari rumahku. Lagipula jalan
utama menuju kampung sebelah tepat di samping rumahku sehingga cukup dengan
membuka jendela aku bisa melihat siapa saja yang lewat. Hingga saat ini aku
hanya bisa mengaguminya dari jauh. Mengobrol sebentar ketika tidak sengaja
berpapasan atau hanya melihatnya sekilas dari balik tirai. Meski pendatang
baru, keluarganya bisa dibilang keluarga priayi di kampung ini.
Sepertinya kantukku sudah tidak mau diajak kompromi lagi.
Dengan bermodalkan selimut dan bantal, kubenamkan mukaku menuju alam lain. Alam mimpi.
***
Sekali
dua kali kutolehkan wajahku pada Mbak Anis. Setelah seharian ini mengoceh tidak
jelas, kini ia malah asyik berpacaran di dekat sungai meninggalkanku seorang
diri sebagai obat antinyamuk lengkap menjabat sebagai hansip. Kalau bukan karena
takut tidak jadi diajak ke Jogja minggu depan tentu aku sudah kabur
meninggalkannya. Aku merasa ini tidak adil. Kalau aku kabur tentu minggu depan
lagi-lagi aku tidak bisa melihat kampus Mbak Anis yang selama ini sering dia ceritakan
padaku.
“Ning,
kamu lagi ngapain di sini?” Aku tahu suara khas itu.
“Eh,
Kang Sigit. Anu, Kang..., anu...” jawabku bingung. Kaget bercampur malu.
“He-he,
iya. Kamu di sini lagi ngapain? Kok sendirian di sungai?” wajahnya yang
penuh senyum simetris itu mematungkanku.
“Ning…
Ning… hei! Ha-ha ah! kamu ini unik sekali. Ditanya malah bengong begitu kenapa?
Atau, jangan-jangan kamu kesurupan?” Kang Sigit menggodaku.
“Eh!
tidak apa-apa, Kang. Kang Sigit dari mana? Kok sendirian juga?”
“Iya,
Ning. Menyenangkan sekali bisa menyusuri jalan-jalan kecil di antara pematang
sawah. Sekalian bisa nangkap belalang buat makan burung. Ayo kita jalan-jalan
bareng. Bukankah kita tidak pernah ngobrol lama?”
“Eh!
Hmmm, iya, Kang.” Kuanggukkan kepalaku.
Tuhan,
kutarik kembali prasangkaku. Tolong ampuni hamba-Mu yang nakal ini. Mungkin ini
hikmah tersembunyi di balik lelah menunggu Mbak Anis. Aku tersenyum
membayangkan Mbak Anis yang kebingungan mencariku.
“Ning…”
“Iya,
Kang…”
“Boleh
saya tanya sesuatu?”
“Silakan,
Kang. Memang Kang Sigit mau tanya apa pada Ning?” aku sedikit gugup menatap
wajah itu. Wajah manis itu.
“Ning.
Apakah kamu tahu perbedaan burung merak dan gagak?”
Aku
diam sejenak. Kenapa Kang Sigit bertanya soal burung? Apa Kang Sigit ingin
memelihara burung? Lalu kenapa ia tanya pada seorang gadis seperti aku yang
jelas-jelas sangat awam mengenai burung dan hewan lain?
“Emmm…
Emmm... setahu Ning warna bulunya, Kang.” jawabku malu-malu.
“Warna
burung merak bagus, Kang. Berwarna-warni. Sedangkan burung gagak berwarna hitam,
Kang,” lanjutku.
“Iya,
Ning. Meskipun mereka sama-sama burung, banyak hal yang membedakan mereka.
Apakah kamu tahu, Ning? Ketika seekor burung gagak berusaha mengubah diri agar
bisa seperti burung merak. Meskipun ia rela mati-matian berusaha. Ia akan tetap
menjadi gagak. Meskipun ia mencabut seluruh bulu atau mewarnai bulu seperti
merak, ia akan tetap menjadi gagak. Suara dan bulunya takkan pernah menyamai
burung merak.” Kang Sigit terdiam sejenak.
“Dan
hukum itu berlaku dalam hidup manusia, Ning. Derajat, pangkat, warna kulit
terkadang masih dielu-elukan. Mustahil seekor gagak dapat diterima baik di
sekumpulan burung merak, Ning. Meskipun kita sudah berusaha mati-matian
berubah, burung gagak akan tetap dianggap sebagai burung gagak, Ning. Tak mungkin
bisa berubah menjadi merak.” Kulihat mata Kang Sigit berlinang. Meskipun
samar-samar, aku yakin ia berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak
runtuh.
“Tidak,
Kang. Tidak selamanya itu semua benar. Bukankah yang terpenting burung gagak
sudah berusaha? Kenapa Kang Sigit tiba-tiba sedih? Apakah Kang Sigit sedang
jatuh cinta pada seorang gadis?” tanyaku dengan bibir gemetar.
“Iya,
Ning. Aku mencintai seorang gadis. Namun keluargaku menentang keras-keras
karena beranggapan derajat kami berbeda. Aku mencintai sejak dulu, Ning. Sejak awal
perjumpaanku dengannya dua tahun lalu. Aku selalu merindukannya, Ning. Aku merindukanmu.”
Satu
kata itu tepat melesat sepersekian detik melewati sudut waktu. Aku tak akan
pernah berani bermimpi dapat dia cintai. Atau aku hanya salah dengar?
“A..
a.. apa, Kang?”
“Aku
mencintaimu, Ning. Sejak dulu. Namun aku tak kuasa melawan kehendak orang tua.”
Kang Sigit menahan isak.
Aku
tak sanggup menutupi kekagetanku. “Eh! Kang, Mungkin ini mimpi bagi Ning dapat
Kang Sigit cintai. Karena sebenarnya Ning juga mencintai Kang Sigit. Meskipun
Ning menjadi seperti burung gagak. Ning akan menikmati hidup Ning sebagai
seekor gagak. Karena itu adalah anugerah dan rezeki dari Tuhan untuk Ning.
Namun, Kang! Ning akan selalu berusaha menjadi gagak yang terbaik. Gagak yang
bermanfaat. Setidaknya untuk sekumpulan gagak.”
“Mungkin
kelak Ning dapat berjumpa sekumpulan merak. Namun Ning akan tetap bangga
menjadi diri Ning. Ning tak perlu mati-matian mencabuti bulu Ning atau mewarnai
bulu Ning. Ning cukup menjadi diri Ning apa adanya, Kang. Ning bersyukur, meski
Ning hanya tercipta seperti seekor gagak. Ning tak akan marah pada Sang
Pencipta. Ning terima, Kang.” Aku gemetaran. Meskipun dengan sekuat tenaga
kucoba untuk terlihat tegar, rupanya aku tak mampu menahan tangis yang tak
terdengar.
“Apakah
kita masih bisa bertemu lagi esok atau lusa, Ning? Semoga aku mampu menyapu
dukamu dengan selembar senyum yang basah.”
Pelan
kutundukkan wajahku. Hamparan hijau sawah yang dipenuhi palawija. Aliran air
sungai yang mengalir dengan tenang. Suara kicau burung dan jangkrik yang
bersahutan seakan membuat alunan melodi yang syahdu.
***
nb: gambar diunduh dari buasirotak.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar