Minggu, 14 Agustus 2016

Cerpen: Merak dan Gagak


Yundra Karina

Tetes gerimis membasahi telapak tanganku. Sepertinya sudah terlalu lama aku menjulurkan tangan ke luar jendela kamar. Tak terasa malam semakin menggelayut. Embusan udara menggelitik kulitku yang secara langsung memberikan sinyal untuk segera membalikkan diri, lalu mengunci jendela.
“Belum tidur, Ning?” suara seorang pemuda mengagetkanku. Suara yang sudah tidak asing lagi bagiku.
“Eh, belum, Kang. Jam segini masih di luar memang dari mana, Kang?”
“Tadi ada latihan pencak silat di padepokan sebelah, Ning. Lumayan jauh. Tidak ada teman pula. Jadi jalan kaki sendirian.”
“Iya sudah, Kang. Sudah malam, tidak enak kalau ada orang yang lihat. Lekas Kang Sigit pulang. Hati-hati di jalan.”
“Iya, Ning. Terima kasih. Saya pulang dahulu.”
Kubalikkan tubuhku setelah memastikan bayangan sesosok pemuda itu hilang di balik tikungan. Angin semilir sepoi-sepoi. Kututup tirai jendela yang kontras dengan cahaya lampu yang redup. Hampir setiap hari aku sempatkan menunggu seseorang dari balik tirai jendela kamarku berharap dapat melihat siluetnya meski sekilas atau sesekali mengobrol sebentar.
Kang Sigit. Iya, namanya Sigit. Ia pemuda yang aku kenal dua tahun terakhir ini. Orang tuanya asli Pasuruan mengajaknya pindah ke kampung ini. Waktu itu aku baru lulus SMA ketika teman-teman sebayaku sedang gencar membicarakan seseorang yang spesial di hati. Selain mempunyai perawakan yang tinggi semampai dan wajah yang tampan, Kang Sigit terkenal jago silat dan sangat baik di kalangan warga kampung.
Rumahnya pun tidak jauh dari rumahku. Lagipula jalan utama menuju kampung sebelah tepat di samping rumahku sehingga cukup dengan membuka jendela aku bisa melihat siapa saja yang lewat. Hingga saat ini aku hanya bisa mengaguminya dari jauh. Mengobrol sebentar ketika tidak sengaja berpapasan atau hanya melihatnya sekilas dari balik tirai. Meski pendatang baru, keluarganya bisa dibilang keluarga priayi di kampung ini.
Sepertinya kantukku sudah tidak mau diajak kompromi lagi. Dengan bermodalkan selimut dan bantal, kubenamkan mukaku menuju alam lain. Alam mimpi.
***
Sekali dua kali kutolehkan wajahku pada Mbak Anis. Setelah seharian ini mengoceh tidak jelas, kini ia malah asyik berpacaran di dekat sungai meninggalkanku seorang diri sebagai obat antinyamuk lengkap menjabat sebagai hansip. Kalau bukan karena takut tidak jadi diajak ke Jogja minggu depan tentu aku sudah kabur meninggalkannya. Aku merasa ini tidak adil. Kalau aku kabur tentu minggu depan lagi-lagi aku tidak bisa melihat kampus Mbak Anis yang selama ini sering dia ceritakan padaku.
“Ning, kamu lagi ngapain di sini?” Aku tahu suara khas itu.
“Eh, Kang Sigit. Anu, Kang..., anu...” jawabku bingung. Kaget bercampur malu.
“He-he, iya. Kamu di sini lagi ngapain? Kok sendirian di sungai?” wajahnya yang penuh senyum simetris itu mematungkanku.
“Ning… Ning… hei! Ha-ha ah! kamu ini unik sekali. Ditanya malah bengong begitu kenapa? Atau, jangan-jangan kamu kesurupan?” Kang Sigit menggodaku.
“Eh! tidak apa-apa, Kang. Kang Sigit dari mana? Kok sendirian juga?”
“Iya, Ning. Menyenangkan sekali bisa menyusuri jalan-jalan kecil di antara pematang sawah. Sekalian bisa nangkap belalang buat makan burung. Ayo kita jalan-jalan bareng. Bukankah kita tidak pernah ngobrol lama?”
“Eh! Hmmm, iya, Kang.” Kuanggukkan kepalaku.
Tuhan, kutarik kembali prasangkaku. Tolong ampuni hamba-Mu yang nakal ini. Mungkin ini hikmah tersembunyi di balik lelah menunggu Mbak Anis. Aku tersenyum membayangkan Mbak Anis yang kebingungan mencariku.
“Ning…”
“Iya, Kang…”
“Boleh saya tanya sesuatu?”
“Silakan, Kang. Memang Kang Sigit mau tanya apa pada Ning?” aku sedikit gugup menatap wajah itu. Wajah manis itu.
“Ning. Apakah kamu tahu perbedaan burung merak dan gagak?”
Aku diam sejenak. Kenapa Kang Sigit bertanya soal burung? Apa Kang Sigit ingin memelihara burung? Lalu kenapa ia tanya pada seorang gadis seperti aku yang jelas-jelas sangat awam mengenai burung dan hewan lain?
“Emmm… Emmm... setahu Ning warna bulunya, Kang.” jawabku malu-malu.
“Warna burung merak bagus, Kang. Berwarna-warni. Sedangkan burung gagak berwarna hitam, Kang,” lanjutku.
“Iya, Ning. Meskipun mereka sama-sama burung, banyak hal yang membedakan mereka. Apakah kamu tahu, Ning? Ketika seekor burung gagak berusaha mengubah diri agar bisa seperti burung merak. Meskipun ia rela mati-matian berusaha. Ia akan tetap menjadi gagak. Meskipun ia mencabut seluruh bulu atau mewarnai bulu seperti merak, ia akan tetap menjadi gagak. Suara dan bulunya takkan pernah menyamai burung merak.” Kang Sigit terdiam sejenak.
“Dan hukum itu berlaku dalam hidup manusia, Ning. Derajat, pangkat, warna kulit terkadang masih dielu-elukan. Mustahil seekor gagak dapat diterima baik di sekumpulan burung merak, Ning. Meskipun kita sudah berusaha mati-matian berubah, burung gagak akan tetap dianggap sebagai burung gagak, Ning. Tak mungkin bisa berubah menjadi merak.” Kulihat mata Kang Sigit berlinang. Meskipun samar-samar, aku yakin ia berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak runtuh.
“Tidak, Kang. Tidak selamanya itu semua benar. Bukankah yang terpenting burung gagak sudah berusaha? Kenapa Kang Sigit tiba-tiba sedih? Apakah Kang Sigit sedang jatuh cinta pada seorang gadis?” tanyaku dengan bibir gemetar.
“Iya, Ning. Aku mencintai seorang gadis. Namun keluargaku menentang keras-keras karena beranggapan derajat kami berbeda. Aku mencintai sejak dulu, Ning. Sejak awal perjumpaanku dengannya dua tahun lalu. Aku selalu merindukannya, Ning. Aku merindukanmu.”
Satu kata itu tepat melesat sepersekian detik melewati sudut waktu. Aku tak akan pernah berani bermimpi dapat dia cintai. Atau aku hanya salah dengar?
“A.. a.. apa, Kang?”
“Aku mencintaimu, Ning. Sejak dulu. Namun aku tak kuasa melawan kehendak orang tua.” Kang Sigit menahan isak.
Aku tak sanggup menutupi kekagetanku. “Eh! Kang, Mungkin ini mimpi bagi Ning dapat Kang Sigit cintai. Karena sebenarnya Ning juga mencintai Kang Sigit. Meskipun Ning menjadi seperti burung gagak. Ning akan menikmati hidup Ning sebagai seekor gagak. Karena itu adalah anugerah dan rezeki dari Tuhan untuk Ning. Namun, Kang! Ning akan selalu berusaha menjadi gagak yang terbaik. Gagak yang bermanfaat. Setidaknya untuk sekumpulan gagak.”
“Mungkin kelak Ning dapat berjumpa sekumpulan merak. Namun Ning akan tetap bangga menjadi diri Ning. Ning tak perlu mati-matian mencabuti bulu Ning atau mewarnai bulu Ning. Ning cukup menjadi diri Ning apa adanya, Kang. Ning bersyukur, meski Ning hanya tercipta seperti seekor gagak. Ning tak akan marah pada Sang Pencipta. Ning terima, Kang.” Aku gemetaran. Meskipun dengan sekuat tenaga kucoba untuk terlihat tegar, rupanya aku tak mampu menahan tangis yang tak terdengar.
“Apakah kita masih bisa bertemu lagi esok atau lusa, Ning? Semoga aku mampu menyapu dukamu dengan selembar senyum yang basah.”
Pelan kutundukkan wajahku. Hamparan hijau sawah yang dipenuhi palawija. Aliran air sungai yang mengalir dengan tenang. Suara kicau burung dan jangkrik yang bersahutan seakan membuat alunan melodi yang syahdu.
***
nb: gambar diunduh dari buasirotak.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar